Sukmajaya | Depok Terkini
Delapan kepala sekolah (kepsek) meminta Walikota Depok Idris Abdul Shomad dan Wakil Walikota Depok Pradi Supriatna, untuk meninjau kembali terbitnya Surat Perintah (SP) Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Surat Keputusan (SK) Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail, pada Rabu tanggal 23 Maret 2016 tentang penurunan jabatan kepala sekolah (kepsek).
Menurut mereka, kedua surat itu telah menimbulkan keresahan dan mengganggu kinerja 8 dari 10 kepsek di wilayah kerja UPT Pendidikan TK/SD Kecamatan Sukmajaya. Pasalnya kedua surat itu diterbitkan setelah dua bulan berakhirnya masa jabatan Nur Mahmudi Ismail sebagai Walikota Depok.
Kedua surat itu, SP dan SK tanggal penetapannya sama yaitu pada 15 Januari 2016. Hal ini juga sama dengan penetapan SP dari Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Depok yang mereka tolak sebelumnya.
Bahkan atas penolakan SP Kadisdik itu tentang periodesasi, mereka sempat dimintai keterangan dalam Berita Acara di kantor Disdik Kota Depok pada 2 Februari 2016. SP dinilainya tidak melalui mekanisme yang seharusnya, selama ini mereka bertugas sebagai kepala sekolah berdasarkan SK Walikota yang ditetapkan pada Desember 2013.
Kedelapan kepsek itu kembali menyatakan belum bersedia menerima kedua surat, SP BKD dan SK Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail, yang juga tidak dicap dan tidak ditandatangani walikota. Hanya dicap dan ditandatangani oleh Kepala BKD Kota Depok Sri Utomo.
"Kami bukan menolak, tapi belum bersedia menerima SP dan SK. Kami akan pelajari dan pertimbangkan dulu SP dan SK tersebut, makanya kepada Kepala UPT Pendidikan TK/SD Kecamatan Sukmajaya kami minta waktu untuk hal itu. Hal itu kami tuangka dalam surat pernyataan pada 23 Maret 2016, bersamaan dengan disodorkannya SP dan SK tersebut," kata Kepala SDN Mekarjaya 18 Dodi Kurniadi mewakili 7 kepsek lainnya, Sabtu (26/3).
Menurutnya, seusai dimintai keterangan oleh Disdik Kota Depok pada 2 Februari 2016 itu, para kepsek tenang bekerja berdasarkan SK Walikota yang ditetapkan pada Desember 2013.
Penerbitan kedua surat itu dinilai bertentangan dengan penegasan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang saat itu dijabat Gamawan Fauzi. Pada 9 Januari 2013, Mendagri menegaskan para kepala daerah tidak boleh melakukan mutasi jabatan struktural menjelang 6 bulan sebelum pelaksanaan pilkada.
"Untuk kepentingan itu saya memang sudah mengeluarkan surat edaran resmi," kata Gamawan di Jakarta, sehubungan maraknya mutasi yang dilakukan para kepala daerah yang masa jabatannya tinggal 6 bulan lagi.
Menurut Mendagri, mutasi yang dilakukan seharusnya sesuai dengan aturan. Mutasi yang dilakukan menjelang 6 bulan berakhirnya masa jabatan, terutama bagi yang akan maju ke pilkada sangat rentan kepentingan.
Mutasi yang dilakukan asal saja bukan saja merupakan pelanggaran struktural, juga bisa merusak karir PNS yang bersangkutan. Dalam konteks pilkada, PNS harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sesuai Pasal 28 huruf a UU No.32/2004, ujar Mendagri, kepala dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. "Apalagi merugikan kepentingan umum, meresahkan skelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan lain," kata Mendagri.
Jika kepala daerah tetap saja melakukan mutasi, khususnya eselon II, pihaknya tidak akan memberi izin karena mutasi pejabat eselon II harus seizin mendagri.Jika mutasi tetap dilakukan dan pegawai merasa dirugikan mereka bisa saja mengajukan gugatan ke PTUN.(ash)