Balaikota | Depok Terkini
Pemerintah Kota Depok telah membentuk 125 partai ember sebagai penerapan Perda Persampahan tahun 2014. Saat ini seluruh warga Depok sejak tahun 2014 tidak lagi membayar retribusi sampah. Pemerintah Kota hanya memungut retribusi dari jasa komersial seperti rumah makan atau pusat perekonomian.
"Sudah terbentuk 125 wilayah Partai Ember, kami ingin bentuk satu partai ember di setiap RW ditambah minimal 1 unit bank sampah setiap RW. Kini sudah ada 500 bank sampah," kata Walikota Depok Nur Mahmudi
Ismail dalam Workshop Urgensi Pembangunan Sistem Pengelolaan Sampah di
Daerah dengan Kemenko Perekonomian di Balaikota Depok, Senin (14/12).
Menurut Nur Mahmudi, mengatasi permasalahan sampah di kota metropolitan caranya dengan mengimplementasikan UU Persampahan, Nomor 18 tahun 2008 yakni memilah sampah dari sumbernya. Kesadaran masyarakat untuk memisahkan sampah organik dan non organik harus dibangun.
"Maka saat ini masalah sampah banyak menyebabkan banjir dan wabah penyakit menjadi limbah. Kita bangun pengolahan sampah dengan sistem UPS dan TPA sanitary landfill. Negara - negara maju mengajukan metodenya melaksanakan proses pemilahan dari rumah," katanya.
Depok saat ini sudah memiliki 40 unit UPS dengan total sampah per hari yang dihasilkan yakni 4200 meter kubik. Total warganya mencapai 2,1 juta dengan jumlah 400 ribu kepala rumah tangga.
"Dibujuk berbagai cara 125 wilayah Partai Ember ini melakukan pemilahan sampah. Ada partai ember besar dan ember kecil. Setiap rumah wajib sediakan ember kecil tertutup diisi sampah rumah tangga hasil
dapur, organik basah. Lalu ada 30 rumah dikumpulkan di ember besar nanti. Lalu sisanya ada 500 bank sampah," jelas Nur Mahmudi.
Kabid Utilitas Kemenko Bidang Perekonomian Masduki mengatakan masalah sampah menjadi salah satu program pemerintah untuk dilakukan percepatan dalam penyelesaiannya. Sebab berkembangnya suatu desa
menimbulkan resiko salah satunya sampah.
"Depok sudah berlakukan penghapusan retribusi sampah. Warga wajib pilah sampahnya masing - masing. Ada Perda disini dorong keluarga olah sampah. Sebab jika desa berkembang jadi kota, resikonya persoalan sampah muncul. Yang tadinya sampah desa menjadi sampah kota," tutup Masduki..(ris)