Margonda | Depok Terkini
Bangunan tua di pusat perbelanjaan Margo City Jalan Margonda Raya, Depok masih terlihat megah dan bernuansa sejarah. Meskipun saat ini digunakan sebagai caffe, gedung warisan tuan tanah asal China, Tio Tiong Ko, sejak tahun 1690 masih terpelihara rapih dan memiliki nilai historis bagi warga Depok.
Ketika seseorang melangkah menuruni anak tangga dari pedestrian menuju kafe, akan tersuguh indah pemandangan gedung bergaya gotik warna putih dengan tiang-tiang bulat. Sayangnya nuansa Cina tak lagi kental terasa.
Rumah tua itu bagi sejarawan Onghokham dalam buku "Anti-Cina-Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina" merupakan cikal bakal daerah Pondok China. Sejumlah rumah berbentuk pondokan menjadi tempat berkumpul para pedagang asal Tionghoa, yang bermitra dengan saudagar Belanda tergabung dalam VOC (Verenigde Oost Companiest).
Cornelis Chasteleine, pejabat VOC, bahkan membeli lahan kepada Tio Tiong Ko seluas 1.244 hektar pada 1691 di Depok (Mampang dan Karang Anyar).
"Nama Pondok Cina itu sudah ada sejak awal dalam peta abad ke-17," kata Tri Wahyuning Irsyam, doktor sejarah dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang meneliti sejarah perkembangan Kota Depok.
Hal senada diungkap sejarawan Adolf Heuken. Katanya, nama Pondok Tjina dipakai untuk menyebut rumah tua Pondok Cina yang sekarang terletak di halaman Margo City.
"Sebuah rumah sudah disebut dengan nama Pondok Tjina pada tahun 1690, waktu dimiliki oleh seorang Tionghoa," tulis Heuken dalam buku "Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta".
Seorang saudagar Belanda yang kelak memimpin VOC, Abraham Van Rieebek, bahkan mencatat nama Pondok Tjina juga sudah tertera saat ia melakukan perjalanan untuk melihat potensi wilayah Selatan pada tahun 1704.
"Perjalanannya dimulai dari Batavia-Tjililitan-Tandjung Timoer-Seringsing-Pondok Tjina-Pondok Putjung-Bodjong Manggis-Kedung Halang-Parung Angsana (sekarang menjadi Tanah Baru)." demikian dikutip Rian Timadar dalam skripsi di Universitas Indonesia, "Persebaran Data Arkeologi di Permukiman Depok Abad 17-19".
Terpusatnya warga Tionghoa di Pondok Cina, seperti diungkap Lilie Suratminto dalam bukunya "Depok dari Masa Prakolonial ke Masa Kolonial" lantaran testamennya Cornelis Chasteleine. Di antaranya warga Cina hanya diperbolehkan berdagang pagi hingga sore di Depok. Sedangkan untuk bermukim tidak diperbolehkan lantaran memiliki kebiasaan kurang baik.
Namun begitu, perkembangan Pondok Cina tidak menjadi Pecinan seperti Glodok, Jakarta Barat. Memasuki abad ke-20, orang Tionghoa di daerah itu berkurang. Sebagian pindah ke Pasar Cisalak, sebagian lain entah ke mana. Penelitian mengenai hal ini masih sangat jarang.
Hingga kini, keturunan para pedagang Tionghoa di Pondok Cina sulit ditemukan. Peninggalan mereka hanyalah rumah tua dan kompleks pemakaman Tionghoa di belakangnya. Tradisi budaya mereka tak mengakar di wilayah itu. Imlek hanya terasa di Margo City dan Depok Town Square (Detos), dan tidak di permukiman warga. Jejak mereka menghilang. Mereka–meminjam istilah sejarawan Belanda Leonard Blusse– seperti "orang-orang tanpa sejarah". Padahal. mereka pernah ikut bersama-sama membangun sejarah Kota Depok.